Ticker

6/recent/ticker-posts

Rindu


Masih menunggu sinar mentari meredup. Menghimpun sisa-sisa rindu yang berserak di langit. Aku lelah sudah, bahkan rasa cintaku padanya telah menguap satu-satu. Entah berapa banyak yang masih bertahan membisikkan sabar di hatiku. ''dia akan pulang, percayalah!'' aku muak mendengar kalimat itu. Hanya selembar cinta berukuran kuarto yang membuatku masih tetap datang ke dermaga. Menunggu senja datang, menantinya pulang.

disclaimer

Kurapatkan syal yang membelit leherku, di penghujung tahun seperti ini angin bertiup lebih kencang dari biasanya, aku tak mau membiarkan rasa dingin yang ia bawa menyusup ke dalam kulitku. Meski dengan penampilan seperti ini aku terlihat seperti orang eskimo salah alamat, aku tak peduli. aku datang ke sini karena punya kepentingan sendiri, tak peduli apa yang mereka pikirkan tentangku.




“Adakah kau bilang pada Rahmat akan ke dermaga lagi hari ini?” Seorang lelaki berperawakan tinggi besar menegurku, menyodorkan sebotol air mineral yang masih berembun.

Aku menerima botol air itu. “Aku tidak perlu memberitahunya.”

“Kenapa?” dia terlihat sangat ingin tahu.

Aku sebenarnya tak ingin meladeni basa-basi darinya. Aku tak mengenalnya, bahkan tak tahu namanya. Ah, tidak, dia pernah memberitahuku suatu kali, tapi aku tak merasa perlu untuk mengingatnya. Entah mengapa, ia bersikap sangat baik kepadaku. Di keramaian dermaga hanya ia seorang yang awas dengan keberadaanku. Lebih mengherankan lagi ia tahu banyak tentangku, juga alasanku muncul di sini saban petang.

“Kurasa kau sudah tahu.” Kalimat itu kumaksudkan untuk meledeknya. Aku tahu, ia akrab dengan Rahmat dan sering berbincang dengannya. Mustahil Rahmat tak memberitahunya bahwa ia tidak suka aku datang ke dermaga.

“Baiklah, aku tidak akan bertanya lagi.” Ia beranjak sedikit menjauh. Namun tetap duduk menghadap ke pantai, sama seperti yang kulakukan.
Aku melipat kedua kakiku, sekarang angin pantai semakin kejam menghantamkan dingin ke pori-poriku. Jaket tebal yang kupakai tak mampu melawan kekuatan alam itu. Aku menggigil, tapi tetap bertahan. Menunggu berarti bersabar, benar bukan?

“Mak, ayo pulang!” Tanpa kusadari Rahmat telah berdiri di sebelah dengan menggamit lenganku.

“Kau sudah pulang mengaji, Rahmat? Ini belum lagi magrib…” Aku sedikit terkejut. Ini pertama kalinya Rahmat datang menjemputku.

“Rahmat dengar dari Cek Min Mak datang ke sini, makanya Rahmat minta izin ke Teungku untuk menjemput Mak pulang.”

“Kau mengorbankan waktu mengajimu untuk datang ke sini? Kenapa kau lakukan itu Rahmat?” Tak bisa kuhindari suara meninggi. Aku kesal dengan tindakannya. Menyia-nyiakan waktu belajarnya hanya untuk menjemputku ke sini. Tanpa ia datang pun jelas aku akan pulang. Sendiri.

Rahmat tak menjawab kalimatku. Ia tetap bergelayut di lenganku dengan manja. Raut wajahnya yang cerah terlihat berubah cemberut.

“Mak, ayo pulang…” Ia mulai merengek.

Aku terpaksa melangkah sebelum mata bening Rahmat melahirkan hujan. Aku menatap laut sekali lagi, hamparan air itu mulai membiaskan merah senja. Namun tak ada bayangan kapal yang berlayar ke arah pantai, ia tak pulang.

***
Perempuan itu muncul lagi. Entah dari mana datangnya, seketika saja ia sudah duduk di kursi makan, mengawasiku yang tengah menyiapkan makan siang untuk Rahmat. Ia diam saja, tak cerewet seperti biasanya.

“Bagaimana kau masuk? Aku tak ingat membukakan pintu untukmu.”

Ia tak menggubris.

“Kau siapa? Kenapa selalu muncul tiba-tiba di hadapanku?”

Ia tetap tak menjawab pertanyaanku. Malah tangannya terangkat menunjuk pigura di atas meja buffet di ruang seberang dapur. Pigura itu membingkai foto Akbar dan Rahmat kecil.

Aku mulai tak sabar dan ingin mengusirnya. Ia tamu yang tak diundang dan sama sekali tidak sopan.

“Kau, keluar!” Ucapku menahan amarah.

Perempuan misterius itu tidak merespon. Ia tetap saja menunjuk ke arah pigura dan menatapku dengan raut muka ditegaskan. Memerintahkan aku mengambil foto itu.
“Jangan ikut campur urusanku. Kau siapa? Keluar dari rumahku!” Tembok kesabaranku jebol oleh amarah. Aku mengambil gelas dari atas meja dan melemparinya. Sial, ia lihai menghindar. Gelas itu mengenai dinding dan hancur berantakan.

Kulihat perempuan itu berjalan mendekati buffet, tanpa izin ia mengangkat pigura itu dari tempatnya.

“Kau lihat dia?” Ia menunjuk muka Akbar, “Kenapa kau masih menunggunya? Aku bosan melihatmu bertingkah gila! Biar kuenyahkan wajah ini sekarang sehingga kau tahu ia sudah benar-benar mati, dan lenyapdari pikiranmu!”

Ia mulai memaksa membuka pigura dan mengeluarkan foto Akbar. Aku kelimpungan berusaha merebut potret itu darinya. Foto itu satu-satunya yang kupunya, aku harus melindunginya.

“Kembalikan foto itu!” Aku berusaha menjangkau tangannya. Tapi ia dengan cekatan mengelak. Aku tak bisa menggapainya.

“Kau harus membunuhnya dari pikiranmu, atau aku akan membunuhmu!” Sosok lain dengan wajah serupa tiba-tiba saja muncul dari arah belakangku dengan menghunus pisau dapur.

disclaimer


“Argh… siapa kalian? Bagaimana kalian datang? Kenapa kalian mengacaukan aku?”

Aku berteriak geram. Tak mengerti apa yang terjadi.

“Aku bagian darimu.” Sahut yang memegang foto.

“Aku tidak butuh pintu untuk masuk, karena aku berada di jiwamu.” Tambah yang menggenggam pisau.

“Jangan meracau! Aku tidak punya saudara perempuan apalagi kembaran. Mengapa kalian menghantui aku? Kenapa kalian memiliki wajahku?” Semua ini tidak masuk akal.

“Bodoh! Kami muak melihat kau bersikap gila. Sampai sekarang kau masih saja ke dermaga, padahal aku melihat dengan jelas mayatnya empat tahun lalu. Kau juga! Lalu apa yang kau tunggu?” Si pemegang pisau mengganas.

“Hah! Kau masih meyimpan surat ini?” Salah satunya lagi ternyata sudah mengacak-acak laci dan menemukan surat terakhir yang dikirimkan Akbar. “Mari kita musnahkan kedua barang ini!” mereka membuat kesepakatan.

Aku kelimpungan mencegah mereka mewujudkan niatnya. Serta merta kuraih dan melempari mereka dengan seluruh barang yang ada di meja, termasuk makanan yang telah kusiapkan untuk Rahmat.

“Pergi kalian! Pergi… Jangan seenaknya di sini. Ini rumahku, kalian bukan siapa-siapa, kalian orang gila!!!”

Aku mulai menangis. Pandanganku seketika mengabur, namun masih dapat kulihat kedua orang asing tersebut melangkah keluar rumah melalui pintu dapur yang terbuka.

“Ina, ada apa? Kenapa kamu berteriak?” Mak Ti, tetanggaku, ternyata datang karena kegaduhan yang kubuat.

Aku tak kuasa menjawab. Badanku melemah, energiku habis untuk bertarung dengan dua sosok misterius yang terus memburuku beberapa tahun ini. Aku menunjuk ke arah buffet, berharap Mak Ti mengerti apa yang kumaksud.

“Ada apa dengan lemari itu, Ina? Aku tak mengerti mengapa ruangan ini berantakan sekali.” Komentar Mak Ti kebingungan.

“Mak baru saja melempari barang-barang itu, Mak Ti. Rahmat tak berani masuk karena takut Mak tak mengenali dan ikut melempari Rahmat.” Rahmat tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu dengan terisak. Rautnya jelas mengukir rasa takut. Ia bahkan menjaga jarak dariku.

“Ina, kau…” Mak Ti tak kuasa berkata-kata.

“Mereka, mereka, Mak Ti, mereka mengancam akan menghancurkan foto dan surat dari Akbar.” Jelasku terputus-putus.

Rahmat menatapku sayu, sementara Mak Ti semakin tidak memahami.

***
Sekarang aku mengerti mengapa Rahmat dengan senag hati mengantarkan aku ke dermaga sore kemarin. Ia bahkan dengan suka rela bolos mengaji dan menemaniku duduk menatap laut hingga Isya menjelang. Itulah pertama kalinya ia berbicara amat banyak padaku.

“Mak… mengapa tak bosan-bosannya menunggu Ayah pulang?” Tanyanya waktu itu.

“Mak tak tahu… ia sudah meninggalkan kita lama sekali. Rasanya Mak tak ingin lagi mengharapnya kembali, tapi kaki Mak selalu memaksa melangkah kemari.” Aku mencoba jujur.

Rahmat menunduk. “Tapi, Mak… Ayah betul-betul telah meninggalkan kita. Rahmat melihat jasad ayah dibawa pulang orang kampong empat tahun lalu. Rahmat melihat ayah dikuburkan, Mak juga.” Ia mulai membantah.

“Kenapa kau juga berkata seperti orang lain, Rahmat? Kenapa kau tidak percaya pada, Mak?” Aku mulai merasa Rahmat mengkhianatiku.

“Tapi itu kenyataannya, Mak. Kakek dan nenek juga selalu mengunjungi makam ayah. Hanya Mak saja yang tidak mau mengakui kalau lelaki itu memang Ayah.” Rahmat berkaca-kaca. Ia jelas kecewa.

“Kau baca surat ini!” Kuserahkan selembar kuarto yang sudah lecek tersebut. Berharap Rahmat akan berpikir sama denganku setelah membacanya.”

“Iya, Mak. Rahmat tau,” Rahmat menghela nafas panjang, berat. “Ayah telah menepati janjinya. Ayah pulang tepat pada tanggal yang ia sebutkan,tapi tidak bernyawa.” Mata itu kali ini basah. Tetes-tetes hangat jatuh membasahi lengannya yang menggenggam erat surat dari Akbar.

Aku melihat tangisan itu. Badan Rahamat berguncang menahan isakannya. Tapi aku masih tidak ingin percaya dengan apa yang dikatakannya.

“Sudahlah, Mak. Mari kita pulang… sudah cukup penantian, Mak. Ayah tidak akan datang, karena ia telah pulang. Ayah telah pulang.” Rahmat mengulang kalimatnya di telingaku. Ia lantas mendekapku erat.

Pelukan itu hangat. Seperti kehadiran Akbar yang selalu mengurai gundahku, Rahmat mewarisi keistimewaannya itu. Saat itu aku sadar, begitu jarang aku menunjukkan sayangku padanya. Aku lebih memilih berlari ke pantai dan duduk memandangi laut lepas berjam-jam saat gundah, ketimbang bercerita pada Rahmat. Bagiku, ia masih seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Dan sikapku yang ternyata lebih kekanak-kanakan telah membuat Rahmat menjadi lebih dewasa dari usianya.

“Mak, Rahmat di sini menjaga Mak. Tak perlu mengharap ayah yang tak ada.” Air matanya membanjiri sweater yang kupakai. Ungkapannya membawa serta rasa sakit yang selama ini dipendamnya. Benarkah aku telah menyakitinya tanpa kusadari? Aku mengabaikannya sedemikian rupa? Perkataannya sungguh menohok.

 Tapi momen indah itu berlanjut dengan peristiwa menyakitkan ini. Rahmat tak dapat menepati janjinya untuk menjagaku. Kakek dan neneknya datang membawanya pergi dariku, lantas mencampakkan aku ke tempat aneh ini, membiarkanku meratap sendiri di dunia terasing.

“Kondisi mentalmu tidak baik untuk pertumbuhan Rahmat. Kau hamper saja melukainya.” Alasan itu yang mereka gunakan untuk merebut Rahmat dari pengasuhanku. “Kau harus menjalani pengobatan, setelah sembuh kami akan mengizinkan kalian untuk tinggal bersama lagi.” Dan alasan ini yang mengakibatkan aku terjebak di sini.

Lelaki misterius di dermaga itulah yang melaporkan kejadian beberapa hari lalu kepada orangtuaku. dari Rahmat aku tahu bahwa ia adalah teman baik Akbar. ia prihatin denganku, sebab itu ia selalu mengawasiku di dermaga. khawatir aku melakukan hal yang tidak diinginkan.

disclaimer


“Rahmat, Mak tidak gila…” Hanya itu yang mampu kuucapkan untuk meyakinkan Rahmat. Ia mengangguk namun tetap pergi. Aku memandangi sedan yang membawa Rahmat, sejak saat itu aku tidak punya kesempatan untuk melihat wajah indahnya lagi.Hanya orangtuaku yang rutin datang untuk bertukar kabar.

“Rahmat anakku, jemput Mak… Mak tidak gila.” Aku menangis dan memukul-mukul dinding. Aku tidak dapat ke mana-mana. Mereka, polisi berseragam putih, menempatkanku di kamar sempit yang berjeruji, seolah aku narapidana yang sangat berbahaya.

Nah, dua orang wanita cantik berseragam putih datang. Setiap kali aku meraung atau memaki mereka akan datang. Tersenyum manis namun diam-diam menyuntikkan obat yang membuatku tertidur sangat lama.

“Rahmat, Mak tidak gila…” Aku berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang kupunya, sebelum obat dari ujung jarum itu menjalari aliran darahku, aku ingin Rahmat mendengar penderitaanku.

“Hahaha… kenapa kau tak meminta Akbar menjemputmu? Kau telah mengabaikan Rahmat selama ini, lalu dengan pede memintanya mengeluarkanmu dari sini?” Si sosok misterius yang memiliki wajahku itu ternyata mengikutiku sampai ke ruangan sempit ini.

“Jangan sebut-sebut Akbar lagi. Aku sudah menunggunya bertahun-tahun tapi ia tak juga pulang untukku!” Jawabku cepat.

“Hahaha… benarkah?” kembarannya ternyata juga hadir.

“Kau dengar kan apa yang dikatakannya? Sekarang dia meminta Rahmat menolongnya. Hahaha…” Dua makhluk tak kukenal itu terus terbahak menertawakannku.

Aku tak dapat membalas apapun lagi. Pandanganku mulai mengabur dan kepalaku pening, hingga aku tak melihat apapun selain gelap.
***
disclaimer

ciri schizophrenia

Indrapuri
Tuesday, Dec 18th, 2012. 00:05 a.m.

Post a Comment

0 Comments

; //]]>