Minggu lalu (14/4/13) merupakan
hari perayaan maulid di desaku. Seperti yang diketahui, perayaan maulid di
daerah-daerah di Aceh besar selalu meriah. Makan-makan dan ceramah menjadi
unsure utama perayaan.
Sebenarnya tidak ada hal yang
begitu special pada perayaan maulid kali ini. Seperti biasa, siang harinya
warga menjamu tamu dari desa-desa tetangga dengan hidangan khas kenduri yang
bertempat di meunasah dan beberapa rumah penduduk. Lalu pada malam harinya
barulah giliran rohani yang diberi asupan gizi, ceramah maulid.
Para penceramah yang diundang pada
gelaran peringatan maulid selalu humoris – sejauh yang saya temui. Entah itu
sudah menjadi syarat wajib atau hanya inisiatif panitia agar warga betah mendengar
hingga tengah malam. Karena jika pidatonya datar dan membosankan, dapat
diperkirakan warga hanya bertahan sepuluh menit lalu berbondong-bondong pulang.
Baiklah, bukan itu yang sebenarnya
ingin saya sampaikan. Tapi perihal tamu undangan dan makan-makan.
Bagi anda yang berdomisili di Aceh,
khususnya Aceh Besar. Pernah tidak memperhatikan tabiat (kebiasaan) orang Aceh
jika hendak bertamu? Mereka pasti sibuk memikirkan buah tangan. Sepertinya
memang tradisi, orang Aceh selalu membawa oleh-oleh berupa gula, the, biscuit,
susu dan lainnya saat bertamu. Ada yang hanya membawa satu jenis saja, namun
ada pula yang memborong empat macam sekaligus!
Maka jika kita kalkulasikan,
tradisi memuliakan tamu di Aceh tidak pernah merugikan. Karena setiap tamu yang
dating membawa buah tangan untuk si tuan rumah. Ini bukan perihal ikhlas atau
pun pamrih. Tapi melihat gejala budaya yang kental ini, terkadang saya berpikir;
apakah perilaku semacam ini termasuk dalam katagori boros? Apalagi si tuan
rumah juga mengimbangi dengan hidangan yang tergolong ‘wah’.
Seolah memang sebuah keharusan,
hidangan kenduri di Aceh besar melibatkan bahan utama berupa daging. Tak
terkecuali pada perayaan maulid. Sekali lagi, seolah wajib! Si empunya kenduri
merasa malu jika tidak menghidangkan lauk utama berupa ‘kuah daging gulai
nangka’ – apa sih nama resminya? Saya tidak tahu.
Belum lagi diiringi dengan makanan
dan minuman pencuci mulut seperti ketan, serabi, tape, es mentimun serut, rujak
dan banyak lagi jenisnya.
Sebab itu ketika saya meminta agar
menu hidangan maulid kali ini tidak dominan daging tapi sayur, ibu saya bilang;
“nyan ka hana hi sagai…”(Itu sudah tidak bisa dibilang (kenduri)).
Oke, sebagai penutup, balik lagi ke
perihal buah tangan.
Sebenarnya tidak banyak tamu pada
maulid kali ini. Tapi saat memasuki dapur di sore hari saya menemukan gunungan
gula yang merupakan buah tangan dari tamu-tamu yang hadir. Tak hanya ada gula,
bersamanya juga terdapat biscuit dan the. Setelah menilik jumlah bungkusan,
saya mengetahui ternyata jumlah gula itu lebih dari sepuluh kilo!
Gula sepuluh kilo? Hendak
dikemanakan itu semua? Sempat terpikir oleh saya untuk mengangkutnya ke Banda
Aceh dan menjualnya kembali. Namun itu hanya sekedar pikiran yang tidak ingin
saya wujudkan. Selain merepotkan, ibu juga pasti akan melarang.
Belajar dari pengalaman tahun lalu.
Saya mendapati gula bermerk yang teronggok di dapur pada suatu hari. Saat itu
matahari sedang terik dan saya kontan tergoda untuk meneguk the dingin. Ketika
telah bersiap untuk menyeduh the, Ibu saya menyela aktivitas tangan saya yang
saat itu hendak menggunting ujung bungkusan plastic si gula bermerk. “Saka nyan ka hana get lee.” (gula itu
sudah kadaluarsa) Tuturnya.
Saya spontan membaliknya sisi
bungkusan gula, mencari-cari stempel tanggal produksi dan kadaluarsa. Ternyata
benar, gula tersebut telah dinyatakan ‘mati’ sebulan yang lalu.
“Jadi pakoen neubloe teuma?” (jadi kenapa dibeli?) Tanya
saya heran. Gula itu mahal, kami malah tidak pernah membelinya sebelumnya.
“Hana bloe, ata gob ba watee
maulid.” (bukan beli, buah tangan waktu maulid), Jelasnya.
Maulid itu setahun yang lalu. Saya
menggeram. Gula semahal ini dibiarkan hingga kadaluarsa? Akhirnya saya beranjak
dari meja makan, menuju sudut dapur dan melemparkan seplastik utuh gula bermerk
tersebut ke tong sampah dengan tega.
0 Comments