Sejak kecil aku
memang terbiasa melewati jalan ini tiap kali pergi ke meunasah, bukan
karena tidak ada akses lain, melainkan lintasan yang melewati area
persawahan membuat hatiku langsung terpikat semenjak pertama kali
melaluinya. Di jalan ini pula pertama kali aku bertemu dengannya, suatu
sore saat berangkat mengaji bersama teman-teman ke rumah Teungku Muhammad
yang terletak di samping meunasah, aku iseng saja melempari kucing yang
bermain di sekitar pagar rumahnya. Ia yang baru pulang bermain ternyata
sempat melihat dan tidak senang dengan perlakuanku terhadap si kucing.
Spontan saja ia kayuh kencang sepeda dan bermaksud menabrakku, tapi yang
terjadi malah ia yang menabrak pagar dan terjatuh karena aku berhasil
mengelak dengan sempurna. Ia terduduk di atas kerikil menangis karena
lututnya luka. Aku dan yang lainnya segera tancap gas berlari sebelum
neneknya yang terkenal garang keluar memarahi kami. Ya, kesan pertama
semacam itulah yang kudapat darinya.
Sore ini aku kembali melewati jalan ini setelah sepuluh tahun meninggalkan desa. Amat banyak yang telah berubah, rumah-rumah panggung yang dulu berjejer sepanjang jalan kini telah berganti beton dua tingkat, area persawahan yang menjadi wilayah favoritku pun telah menyempit. Pohon mangga besar tempat aku dan teman-teman biasa bermain juga telah almarhum, tak jelas di mana kubur dan sama sekali tak tampak ahli warisnya. Sebagian besar tempat bersejarah di masa kecilku telah direnggut modernisasi.
Sesuatu membuatku terbelalak saat melewati tikungan meunasah. Rumah tua itu tak berubah sama sekali, mulai dari bentuk pagar hingga warna catnya, semua sama dengan lima belas tahun lalu ketika Sarah mencoba menabrakku dengan sepedanya. Pekarangannya masih ditanami bunga melati dan mawar, tak ada anthurium atau pun aster. Dan di sana... ada seekor kucing bermain di dekat pagar. Mungkin itu adalah keturunan kesekian dari kucing yang dulu pernah kulempari kerikil. Karena setelah insiden sepeda tabrak pagar itu, Sarah memutuskan memelihara kucing kumal yang membuatku mengenalnya.
Ah... aku tak bisa melupakan semua yang telah terjadi selama lima tahun melalui masa kecil dengannya. Sarah yang jengkel selalu menungguku lewat depan rumah neneknya saban sore, ia tahu aku selalu melewati jalan itu saat pergi mengaji. Ia akan menghadangku di jalan dan menyuruhku meminta maaf pada kucingnya yang memar karena kulempari. Tentu saja perintahnya tak kuturuti, maka setiap petang berdirilah ia menungguku di depan pagar rumahnya, selama dua minggu ia mengulanginya tanpa pernah absen. Akhirnya aku terpaksa memenuhi keinginannya karena teman-temanku pun mendesak. Sepulang mengaji aku diantar teman-teman meminta maaf pada si kucing dengan membawa oleh-oleh lima bungkus permen. Setelah perdamaian itu sikap Sarah terhadapku spontan berubah sangat manis. Sungguh aneh.
Di teras seorang wanita ringkih duduk menghadap ke jalan. Tak bisa kuelak mata tuanya menangkap keberadaanku. Dengan susah payah ia berusaha bangkit dan berjalan ke arahku. aku tak punya pilihan selain menghampirinya, ia pasti masih mengenalku dengan baik.
"Kau sudah pulang rupanya..." Ia tersenyum kepadaku. Senyum yang amat jarang muncul di wajahnya, senyum yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja.
Aku hanya mengangguk saja. Pertemuan ini sebenarnya tak kuharapkan, karena aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya, dan yang lebih kutakutkan lagi adalah bertemu dengan Sarah. Apa yang akan ia katakan ketika melihatku?
Nenek mengajakku masuk. Aku semakin kikuk. Aliran darahku seperti berhenti, aku setengah membeku. bagaimana jika Sarah ada di dalam? Aku tak berani menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dugaanku benar, Sarah mengantarkanku secangkir teh. Ia terlihat lebih anggun dari sepuluh tahun yang lalu saat aku menyatakan perasaanku kepadanya. Kala itu Sarah menolakku, ia seorang santriwati yang taat beragama, kontras sekali dengan ketomboyannya semasa SD. Lalu dengan nekat aku membuat janji akan datang kembali melamarnya setelah pulang dari perantauan. Janji yang tanpa sengaja telah kuhianati.
Sarah masih
sendiri, ia benar-benar setia menungguku. Meski belakangan aku semakin
jarang mengabarinya. Aku sungguh merasa bersalah tak menyampaikan
kabarku yang sesungguhnya. Namun penyeselanku lebih besar karena telah
mengkhianatinya. Sedangkan Sarah tetap menungguku hingga usianya yang
kini telah mendekati kepala tiga. Aku tak sanggup lagi berbohong ketika
melihatnya tersenyum tulus ke arahku.
"Sarah, maaafkan. Abang telah menikah di perantauan..."
Cangkir teh di tangannya jatuh. Pecah menjadi kepingan-kepingan kecil.
* TAMAT *
Jambotape, 310512.
Lama tidak menulis... alur ceritanya jadi kaku dan perbendaharaan kata semakin menipis.
disclaimer |
Sore ini aku kembali melewati jalan ini setelah sepuluh tahun meninggalkan desa. Amat banyak yang telah berubah, rumah-rumah panggung yang dulu berjejer sepanjang jalan kini telah berganti beton dua tingkat, area persawahan yang menjadi wilayah favoritku pun telah menyempit. Pohon mangga besar tempat aku dan teman-teman biasa bermain juga telah almarhum, tak jelas di mana kubur dan sama sekali tak tampak ahli warisnya. Sebagian besar tempat bersejarah di masa kecilku telah direnggut modernisasi.
Sesuatu membuatku terbelalak saat melewati tikungan meunasah. Rumah tua itu tak berubah sama sekali, mulai dari bentuk pagar hingga warna catnya, semua sama dengan lima belas tahun lalu ketika Sarah mencoba menabrakku dengan sepedanya. Pekarangannya masih ditanami bunga melati dan mawar, tak ada anthurium atau pun aster. Dan di sana... ada seekor kucing bermain di dekat pagar. Mungkin itu adalah keturunan kesekian dari kucing yang dulu pernah kulempari kerikil. Karena setelah insiden sepeda tabrak pagar itu, Sarah memutuskan memelihara kucing kumal yang membuatku mengenalnya.
Ah... aku tak bisa melupakan semua yang telah terjadi selama lima tahun melalui masa kecil dengannya. Sarah yang jengkel selalu menungguku lewat depan rumah neneknya saban sore, ia tahu aku selalu melewati jalan itu saat pergi mengaji. Ia akan menghadangku di jalan dan menyuruhku meminta maaf pada kucingnya yang memar karena kulempari. Tentu saja perintahnya tak kuturuti, maka setiap petang berdirilah ia menungguku di depan pagar rumahnya, selama dua minggu ia mengulanginya tanpa pernah absen. Akhirnya aku terpaksa memenuhi keinginannya karena teman-temanku pun mendesak. Sepulang mengaji aku diantar teman-teman meminta maaf pada si kucing dengan membawa oleh-oleh lima bungkus permen. Setelah perdamaian itu sikap Sarah terhadapku spontan berubah sangat manis. Sungguh aneh.
Di teras seorang wanita ringkih duduk menghadap ke jalan. Tak bisa kuelak mata tuanya menangkap keberadaanku. Dengan susah payah ia berusaha bangkit dan berjalan ke arahku. aku tak punya pilihan selain menghampirinya, ia pasti masih mengenalku dengan baik.
"Kau sudah pulang rupanya..." Ia tersenyum kepadaku. Senyum yang amat jarang muncul di wajahnya, senyum yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja.
Aku hanya mengangguk saja. Pertemuan ini sebenarnya tak kuharapkan, karena aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya, dan yang lebih kutakutkan lagi adalah bertemu dengan Sarah. Apa yang akan ia katakan ketika melihatku?
Nenek mengajakku masuk. Aku semakin kikuk. Aliran darahku seperti berhenti, aku setengah membeku. bagaimana jika Sarah ada di dalam? Aku tak berani menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dugaanku benar, Sarah mengantarkanku secangkir teh. Ia terlihat lebih anggun dari sepuluh tahun yang lalu saat aku menyatakan perasaanku kepadanya. Kala itu Sarah menolakku, ia seorang santriwati yang taat beragama, kontras sekali dengan ketomboyannya semasa SD. Lalu dengan nekat aku membuat janji akan datang kembali melamarnya setelah pulang dari perantauan. Janji yang tanpa sengaja telah kuhianati.
disclaimer |
"Sarah, maaafkan. Abang telah menikah di perantauan..."
Cangkir teh di tangannya jatuh. Pecah menjadi kepingan-kepingan kecil.
* TAMAT *
Jambotape, 310512.
Lama tidak menulis... alur ceritanya jadi kaku dan perbendaharaan kata semakin menipis.
0 Comments