Sore ini kulihat kau berjalan menyusuri koridor sekolah
sendirian. Ingin sekali rasanya aku menyapa dan berjalan bersisian
denganmu, seperti yang dulu kerap kita lakukan. Saat itu hanya ada kau
dan aku, tapi aku tak memiliki sedikitpun keberanian untuk menegurmu.
Hingga akhirnya kau pun berlalu, jauh meninggalkan aku yang masih
mematung di pintu kelas.
***
Kelas riuh luar biasa. Pak
Faisal, guru yang bertugas mengajar sekarang tak jelas dimana
keberadaannya. Guru kimia yang hobi melancong ini berkoar-koar sabtu
lalu bahwa ia akan pergi ke Bali untuk suatu kepentingan yang padahal
sama sekali tak penting, syuting film. Dan seperti yang sudah-sudah,
kami menebak bahwa hanya jempolnya saja yang akan muncul di layar lebar,
atau jika tampil seluruh badan, hanya sebagai figuran yang tugasnya
berlalu lalang dibelakang pemeran utama bersama figuran lainnya.
Teman-temanku
sibuk dengan dirinya sendiri, dengar musik sambil bergosip, kebiasaan
anak SMA jikalau guru absen mengajar. Tapi aku membenci kebiasaan ini,
karena aku sama sekali tak menyukai kebisingan, dan aku tak punya
apa-apa untuk dilakukan.
Kuputuskan untuk menemui sahabatku di
kelasnya. Ia duduk sendiri di bangkunya. Tak ada siapa-siapa di sana. Ku
tebak, mereka semua pasti merayap ke kantin untuk menyantap bakso
sambil memandangi lapangan basket yang dipenuhi oleh siswa-siswi yang
dengan sukarela harus menanggung derita di jemur selama satu jam akibat
datang terlambat. Aku tersenyum, dari dulu ia memang tak menyukai
keramaian, hal inilah yang membuat kami sangat dekat. Kami memiliki
banyak kebiasaan yang serupa.
"kenapa kau hanya mematung saja
disitu?" suaranya mengagetkanku. Aku sungguh malu, lagi-lagi ia
memergokiku bengong di depan pintu.
"kau sedang apa sendirian di
kelas?" Aku balik bertanya. Sebisa mungkin menghindari menatap wajahnya
yang menunjukkan ekspresi ingin tertawa. Ia pasti sangat senang berhasil
memergokiku bengong untuk yang ke sekian kalinya.
"aku mencoba
menulis puisi..." mimik wajahnya berubah serius. Aku merasa sedikit
bersalah tak membiarkannya tertawa, hanya karena ia ingin menertawakan
kebodohanku. Padahal aku pun sering menertawakannya. Egois.
Pandangannya
beralih pada kertas lecek di tangannya. Sepersekian detik kemudian,
kertas itu pun melayang dan dengan sukses mendarat di tong sampah.
Aku tertegun ketika tahu telah banyak kertas malang yang mengalami hal
serupa.
"susah cari inspirasi?" aku meniru iklan sebuah surat kabar nasional.
Ia hanya mengangguk perlahan.
"aku
punya tempat favorit untuk menulis puisi. Mari ku ajak kau kesana..."
Ia bangkit dan tersenyum. Lantas melangkah bersama ke tempat yang ku
maksud.
***
Dan disinilah aku sekarang, di tempat dulu aku
dan sahabatku sering menghabiskan senja bersama, taman belakang sekolah
yang indah. Dengan danau kecil dan pepohonan akasia di sekelilingnya.
Kami sering duduk bersama di bangku besi dan merangkai bait-bait puisi
sambil menunggu mobil yang akan menjemput kami. Begitu pun petang
ini, aku dan dia sama-sama berada disini. Hanya saja kami seolah tak
melihat satu sama lainnya, atau bahkan menganggap tak ada sama sekali.
Aku
duduk di bibir danau. Membelakangi sahabatku yang masih menggoreskan
penanya. Aku tak lagi punya keberanian untuk menatap wajah indah hasil
perpaduan Aceh-Belanda tersebut, apalagi untuk menyapanya. Mungkin
memang fitrahku sebagai perempuan demikian adanya. Tak ada keberanian
dalam diriku untuk menyapa lelaki yang telah mendiamkanku. Jadi ku coba
untuk menikmati saja saat-saat yang menyiksa ini.
Aku bosan. Pak
Harun sopir keluargaku tak juga datang menjemput, sementara aku sudah
tak tahan berada dalam suasana ini untuk waktu yang lebih lama. Jilbabku
melambai-lambai diterba angin senja yang mulai dingin. Matahari
perlahan menarik dirinya ke balik bukit. Jiwaku mulai resah,
sebentar lagi langit akan menurunkan tirai malamnya. Sedangkan pak Harun
tak jua muncul di hadapanku. Dengan enggan akhirnya aku berjalan
meninggalkan taman menuju halte terdekat. Meninggalkan sahabatku yang
masih tetap membisu.
***
Minggu yang tak bergairah. aku
bangun tepat ketika bunda menggedor pintu kamarku untuk yang kelima
kalinya, disertai dengan ancaman akan memboikot jatah sarapanku kalau
dalam hitungan dua puluh detik aku tak membukakan pintu.
Samar-samar
kulihat wajah garang bunda dari celah pintu yang sedikit kubuka, hanya
untuk sekedar memberi tahu bahwa aku telah bangkit dari kematian sesaat
meski aku punya rencana untuk melanjutkannya. namun melihat segayung air
ditangannya, aku terpaksa mengurungkan niatku dan bergegas meraih
handuk, sebelum beliau mengambil tindak lanjut menyeretku ke kamar
mandi.
setelah menjalani semua ritual pagi hari (tak peduli
waktunya yang telah jauh melenceng) Bunda membiarkanku kembali
melanjutkan persemedian di kamar. maka dengan segera aku mengayun
langkah menuju kamar khawatir kalau-kalau ia berubah fikiran dan
berbalik memintaku menemaninya berbelanja. dulu aku selalu punya alasan
untuk menghindar, karena minggu merupakan hari untukku bersantai ceria
bersama sahabatku.
tak ku sangkal, kamarku yang sempit sudah cukup membuatku bosan. namun aku tak punya pilihan selain bertahan. Di
seberang jalan sana, rumah sahabatku berdiri megah. sebulan lalu aku
masih sering bertandang kesana. baik dengan tujuan mengerjakan tugas
bersama, atau pun hanya sekedar jalan-jalan semata. sesekali menyusup ke
dapur dan mencicipi kue dari resep terbaru hasil racikan ibunya. tapi
semenjak sahabatku berubah, aku tak pernah lagi ke sana. dan ia pun tak
pernah lagi mampir ke rumahku.
setelah peristiwa taman belakang
sekolah petang kemarin, aku sama sekali gerah. tak tahan dengan sikapnya
yang mendadak berubah. aku bermaksud akan mengunjunginya hari ini.
untuk itu, aku perlu mengumpulkan keberanian yang masih tersisa dalam
diriku
.
dari balik jendela kamar aku melihat ia
melajukan mobilnya keluar rumah. aku hanya menatapnya kaku, berharap ia
akan melihatku. tidak sia-sia, ia menoleh dan tersenyum. senyum yang
telah lama aku nantikan. tergesa aku berlari keluar rumah,
menyongsongnya...
namun nyatanya aku terlambat. sosoknya telah menghilang bersama mesin tunggangannya yang mewah. tiada yang tersisa...
ketika kembali ke kamar, aku menemukan sebuah pesan pendek di inbox ponselku,
from: sahabatku
asslm..
maaf sahabat, aku harus pergi.
maaf karena aku tidak pernah memberitahu bahwa aku akan tinggal bersama keluarga ayahku hingga tamat kuliah.
sampai bertemu kapan2,
mungkin 10thn lagi kita akan berjumpa kembali
c u :)
***
0 Comments