Ketika menulis ini, saya sedang
dalam keadaan mumang (pening). Jadi maklum saja kalau isi note ini tidak lebih dari
sekedar pikiran ngawur dan amburadul.
Menilik judulnya, jangan pikir
saya akan membahas mengenai masalah kesehatan dan bla bla bla… Tidak sama
sekali! Iya, mungkin sedikit :p
Baiklah, sekarang Ramadhan hari
kedua, malam ketiga tarawih, dan saya mulai merasakan Sesutu yang tidak beres
dengan tubuh saya. Kasus pertama, sakit perut dimulai sejak sahur hingga
menjelang berbuka. Kasus kedua, pening mendera dua puluh empat jam sehari.
Kedua hal tersebut menyebabkan saya hamper tumbang saat melaksanakan tarawih
kemarin malam. Saya kehilangan keseimbangan dan kesulitan untuk focus pada
bacaan shalat. Bicara mengenai sakit perut, saya tetap merasakannya bahkan
ketika tidur dan bermimpi!
Nah, sekarang saya akan membuat
dua topic ini nyambung.
Sebagai orang kampong, say lebih
suka berobat ke bidan dari pada ke rumah sakit/klinik. Alasannya? Dekat dan
murah (kayaknya itu slogan sebuah swalayan swasta local deh, hehe).
Tapi tetap saja, berobat ke bidan
tidak selamanya menyenangkan. Bidan-bidan desa mempunyai daya tarik dan daya
tolak tersendiri, semua itu tergantung pada kepribadian si bidan tersebut. Jika
seorang bidan itu jutek, kira-kira ada yang mau menjadi pasiennya? Sementara
masyarakat desa sangat sensitive perihal tata karma dan keramah-tamahan.
Mala mini, saya berangkat ke
rumah bidan di desa sebelah bersama ayah. Namun ternyata sesampai di sana,
tidak ada orangnya! Entahlah, mungkin beliau belum pulang tarawih atau pulang
ke kampong asalnya.
Kemudian ayah menawarkan ke bidan di desa sebelahnya lag,
saya menolak. Meski beliau lumayan terkenal, tapi saya belum pernah berobat ke
sana, bahkan tidak pernah mampir sama sekali. Tidak tahu mengapa, hanya saja
say tidak tertarik untuk ke sana. Apalagi setelah beberapa saudara berobat ke
sana dan mengeluhkan hasilnya. Ehm…
Bidan di desa sendiri? Beliau
baru bertugas, jadi saya tidak begitu kenal dengannya. Otomatis lupa kalau di
desa sendiri juga ada bidannya. Huhu…
Ya. Bidan desa. Sebagai tenaga
kesehatan yang mempunyai kontak langsung dengan masyarakat, tentu saja ia tidak
lepas dari penilaian penduduk di tempatnya bertugas dan lingkungan sekitar.
Sebab itu, tingkah polah seorang bidan desa tak jarang menjadi perhatian.
Melahirkan pujian bahkan cemoohan.
Tidak semua bidan akrab dan
disenangi masyarakat. Faktornya bisa jadi kepribadian sang bidan itu sendiri,
yang mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap dirinya. Seperti suatu kasus
yang pernah terjadi lingkungan saya, seorang bidan yang baru ditugaskan hanya
menempati ‘rumah dinas’nya tiga hari dalam seminggu, itu pun hanya setengah
hari. Selepas dhuhur ia sudah tidak bisa ditemui lagi. Sehingga ketika ada yang
sakit di luar ‘jam praktik’ si bidan, masyarakat terpaksa mendatangi bidan di
desa sebelah atau pun pergi ke puskesmas. Hal ini pada akhirnya menyebabkan
warga ogah berobat padanya sehingga ia hamper kehilangan pasien sama sekali.
Panjang dan membosankan? Baiklah,
saya tidak akan melanjutkan ini. Lagipula, itu bukan urusan saya :p
Pertanyaan saya yang sebenarnya;
KENAPA BIDAN ITU HANYA PEREMPUAN?
Ya, kenapa?
Akademi Kebidanan (Akbid) sekarang
menjamur di mana-mana. Perempuan pun berbondong-bondong menimba ilmu di sana.
Setiap tahun saya selalu mendapatkan (yang entah dari mana asal-usulnya) brosur
penerimaan mahasiswa baru akbid. Baca ulang: Mahasiswa. Lalu kenapa isinya
mahasiswi? =.=
Meneliti lebih lanjut, terkadang
pihak akademi tidak menuliskan gender perempuan sebagai syarat untuk mendaftar
di brosurnya. Lalu kenapa hanya perempuan? Di mana peraturannya? Undang-undang?
(Yang tahu tolong jawab). Sementara sebaliknya, profesi dokter spesialis kandungan
didominasi kaum lelaki.
Apakah ini sudah merupakan suatu perjanjian tak
tertulis? Kaum adam memegang kendali di gelar Sp.OG sementara kebidanan menjadi
ranah kekuasaan perempuan? Hom keuh…
Pertanyaan selanjutnya, kalau
suatu saat kaum lelaki berprofesi sebagai bidan, kira-kira apa sebutannya?
BIDIN?
disclaimer |
Hahaha… Pikiran kacau saya mulai
mencuat. Sepertinya efek bubur ketan dan tumis keumamah XD
Kemudian saya mulai membayangkan
seorang bidin bertugas layaknya bidan. Mengunjungi rumah ibu-ibu yang baru
melahirkan dan memandikan bayi setiap paginya. Mengecek kondisi ibu hamil
secara rutin di desa tempatnya bertugas, mengelola posyandu dan memberikan
layanan kesehatan kepada setiap warga yang datang berobat ke rumahnya.
Lucu ya? Membayangkan yang
melakukan semua hal di atas adalah seorang lelaki, bapak! :D
Memanglah, sebaiknya seorang
bidin itu tidak diciptakan. Bagaimanapun, tidak seru melihat seorang bapak
berkeliling desa mengunjungi rumah ibu hamil/menyusui setiap harinya,
memandikan bayi dan memeriksa balita di posyandu. Tidaaak… biarkan saja bidan
yang melakukannya!
Dan sumpah, saya tidak akan
berobat ke bidin kalau ia ditugaskan di desa saya :p
Tapi kalo bidinnya seganteng ini, boleh juga deh :p
disclaimer |
disclaimer |
disclaimer |
Indrapuri, 110713
0 Comments