Tidak sampai 24 jam lagi, kami,
pelajar kelas tiga Madrasah Aliyah sederajat, akan menuju medan pertempuran
terakhir, ruang Ujian Akhir Nasional. Saraf telah menegang semenjak sepekan
yang lalu. Kemudian ketika Aceh diguncang pada hari Rabu, kegalauan semakin
berat menekan pundak saya dan kawan-kawan.
Perlengkapan perang dan kesiapan mental diutamakan. Diawali dengan membaca Surah Yasin berjamaah, pemberian motivasi dari dewan guru dan diakhiri dengan pembagian kartu ujian beserta perlengkapan perang.
Perjalanan kaki menuju rumah
diwarnai grogi yang semakin menjadi. Badan mulai gemetar dan pikiran gelisah.
Entah, apakah benar-benar karena memikirkan UAN atau ketakutan akan gempa
susulan, lantaran rumah kontrakan kami berada dalam kawasan rawan Tsunami.
Dalam diskusi tak berujung dengan teman
kost, pertanyaan-pertanyaan tak lulus sensor pun terlontarkan;
“Gimana kalo gempa waktu kita lagi ngisi
LJK?”
“Apa jadinya jika gedung sekolah
roboh dan kita harus ujian di tenda darurat atau bahkan di tengah lapangan?”
“Apa yang harus kita lakukan kalau
denger sirine Tsunami berbunyi di saat ujian?”
“Aku memilih lari daripada mati
sambil memeluk soal-soal itu!”
“Apabila kita ngga lulus karena
insiden di atas, mari ramai-ramai berdemo di depan Dinas Pendidikan!”
“Kalo musibah terjadi di hari UN,
harusnya pemerintah meluluskan kita semua! Itu lebih berarti dari pada
membangun gedung sekolah baru tapi kita harus ngulang setahun lagi!”
“…”
Diskusi tak putus dimulai dari
bangun tidur hingga makan siang, lalu berlanjut lagi saat santai selepas
mencuci, tak terkecuali saat antri mandi. Sesekali tetangga sebelah kamar yang
notabene mahasiswi Akademi Farmasi ikut nimbrung dalam perbincangan, berbagi
pengalaman UN dua tahun yang lalu.
Tak jauh berbeda dengan kami,
ternyata mereka juga pernah menderita Sindrom Pra Ujian Nasional. Adapun gejala
utamanya adalah GELISAH (Gugup, Engga selera makan, Linglung, Insomnia, Sensitif, Amnesia mendadak dan Heboh).
Khawatir dengan kondisi lahir batin
kami yang tampak semrawut, kakak-kakak yang baik hati tersebut menyarankan kami
agar tak lagi memaksakan diri untuk belajar, karena memang tak lagi efektif.
Ada benarnya, melihat kumpulan soal yang berserakan di depan mata hanya membuat
muak dan menambah stress. Begitulah, kami pun memutuskan hubungan dengan buku.
Dengan sedikit gontai saya masuk ke
kamar, menghidupkan kompi dan mulai beternak. Farm Mania days 46, uang saya sudah
mencapai $640.528, cukup banyak jika dirupiahkan. Namun sayang, uang sebanyak
itu cuma sederet angka yang tak dapat ditunaikan. Sementara itu dua teman
sekamar saya memilih jalan masing-masing. Seorang menonton film terbaru yang
didapat dengan cara bertukar flashdisk dengan temannya, dan seorang lagi
langsung menyambar guling lalu tiduran di lantai. Saya tak tertarik menebak apa
yang diimpikannya.
Saya terus focus memperluas lahan,
menjual hasil panen dan memberi makan binatang ternak. Seraya mendengar music
dan mata tak lepas dari LCD, saya berdoa semoga tidak ada kendala semasa ujian
nanti. Entah doa saya akan diterima atau tidak, karena saya tidak memenuhi adab
dalam berdoa.
Matahari telah meninggi dan
beranjak turun, yang saya lakukan seharian itu hanyalah bermain game, melupakan
semua soal matematika yang telah saya pelototi tanpa menyelesaikannya dengan
benar selama seminggu belakangan.
Jeda sejenak untuk shalat, kemudian
kembali menekuni laptop. Jangan tanya perihal makan siang, sudah saya sebutkan
di atas bahwa salah satu gejalanya adalah “engga selera makan”.
Sejujurnya saya tidak benar-benar
menikmati game tersebut, yang dilakukan hanyalah mengontrol gerakan pointer
untuk memerintahkan si “farmer” melakukan ini dan itu. Dia hanya seorang bekerja
mengolah lahan ditemani kakeknya yang hanya bisa menimba air (grrr). Ah, ada
satu lagi, seseorang yang membantu mengantar hasil kebun ke pasar. Pertama-tama
dia naik sepeda, kemudian ketika si farmer sanggup membeli motor, dia juga yang
mengendarainya. Sampai akhirnya hasil panen melimpah dan si farmer membeli
mobil pick-up, dia juga yang menjadi sopirnya. Tapi jangan tanya siapa namanya
karena saya tidak sempat berkenalan, dia dating ketika si farmer siap memanen
dan pergi begitu saja setelah menyerahkan uang hasil penjualan. Sementara si
farmer sendiri tidak pernah pindah dari kawasan lahan, apalagi kakeknya.
Kasian.
Kenapa saya jadi membahas game?
Sebenarnya tokoh utama di note ini siapa? Saya atau si farmer?
Balik lagi ke game *jitak**putar
arah*
Pada akhirnya saya tidak menamatkan
game tersebut – tentunya karena tidak sabar.
Kembali bingung dengan apa yang
hendak dilakukan, saya bangkit dari lantai, meraih handuk dan bergegas untuk
mandi. Sebentar lagi ashar tiba. Saya jadi was-was, ketakutan akan adanya gempa
susulan, mengingat gempa pertama juga terjadi sekitar waktu ashar.
Alhamdulillah, sore tersebut
dilalui dengan tenang. Saya sungguh bersyukur karena bumi sedang tidak mood
untuk bergoyang, setidaknya Tuhan masih member kesempatan kepada para pelajar
yang sedang GELISAH ini untuk menormalkan kembali degup jantung yang sempat
berpacu dua kali lebih cepat.
Selesai mandi dan shalat ashar,
kembali lagi pada kondisi semula; bingung dan hampa.
Apa yang harus dilakukan? Belajar?
Lempar jauh-jauh kata itu sekarang! Siapa yang masih sudi melihat daftar rumus
matematika-fisika-kimia yang setelah tiga tahun dipelajari tapi tak kunjung sukses
dihafal? Sepertinya hanya saya seorang yang sebodoh ini ya. Terus terang,
mengutak-atik rumus pada situasi ini dapat menyebabkan saya mual-mual dan mengalami
serangan jantung yang berujung pada gangguan fungsi otak. Kalimat ini lahir
karena saya membenci pelajaran yang “per-hitung-an”.
Huft! Mengeram di kamar seharian
membuat isi kepala saya seperti tulang yang mengalami pengapuran. Kaku dan
tidak dapat mengerjakan fungsinya. Saya harus keluar, SAYA HARUS KELUAR! *salah
tekan capslock*
Maka jadilah saya menyeret kedua
teman sekamar untuk berjalan-jalan di seputaran rumah. sekedar untuk menghilangkan
suasana sumpek dalam kamar, agar hidung dapat menghirup oksigen dari ruang yang
lebih luas. Berhubung letak gedung sekolah hanya sekitar 50 meter dari rumah,
langkah kami pun mengarah ke sana. Bukan tanpa tujuan, seperti pada ujian
semester setiap tahunnya, kami selalu mendatangi sekolah pada H-1 untuk
mengecek ruang sehingga esoknya kami tidak terburu-buru dan kesasar di sekolah
sendiri. Ya, hanya mengecek ruang, jangan pikirkan yang lain, guys!
Ternyata tidak ada perubahan, ruang
ujian kami esok hari adalah ruang yang sama dengan yang kami tempati selama
tiga kali try out yang telah kami ikuti. Puas berkeliling sekolah dengan
perasaan campur aduk, kami pun pulang, tetap was-was dan siaga dengan
kemungkinan terburuk yang mungkin saja terjadi.
Selanjutnya, ketika malam tiba dan
jantung semakin keras menggedor-gedor dada, yang kami lakukan adalah mengecek
ulang perlengkapan perang untuk mengurangi ketegangan. Satu hal lagi yang tidak
pernah tersingkir dari agenda malam pra ujian: mengirimkan sms-sms ‘motivasi’
kepada seluruh teman-teman yang ada di contact list. Ya, spamming di inbox teman-teman
senasib dan seperjuangan sudah menjadi kebiasaan sebelum ujian.
Oke, stop menyampah sekarang! Besok
adalah pertarungan penting. Saya harus cepat tidur untuk menjaga stamina dan
menghindari anemia esok hari.
Masukkan semua ‘perkakas’ itu ke
dalam tas! Ke kamar mandi, cuci muka, kaki dan sikat gigi. Matikan lampu kamar,
tarik selimut dan pejamkan mata.
Yosh~
Sebelum pertarungan melawan rumus
esok pagi, mala mini saya harus bertarung terlebih dahulu menekan gejala
insomnia.
Allahumma
bismika ahyaa wa bismika amuut…
Jambo Tape, April 2012
0 Comments