disclaimer |
Aku berdiri di ujung Desember, mengamatimu
yang masih terpuruk dalam liang November. Sekuat apapun aku mencoba menarikmu
keluar, aku tak mampu. Karena lenganku tak berhasil mencapai jemarimu yang tak
kau ulur untuk menerima niatanku.
Angin menampar wajahku, rinai
dingin pula menyusup ke dalam kulitku, membekukan otot-otot dan setiap sendi. Aku
ingin pergi, bergegas mencapai rumah dan menghangatkan diri dengan secangkir teh
melati.
Tapi kau masih di sana… menatap
ke masa lalu dari tengah jembatan waktu. Dan aku tidak bisa meninggalkanmu.
Tidak lagi.
Riak di bawah sana membentuk
ombak oleh angin yang semakin keras bergejolak. Pinus-pinus itu berjuang untuk
tetap berdiri, sementara putaran angin kian giat mencoba mematahkan
pertahanannya.
Aku masih berdiri di tempat semula,
meski matahari telah memanggilku untuk melangkah ke hari berikutnya. Ketika ia
pamit bersama kumandang azan, aku semakin ragu. Sebelah telapak kakiku
mengambang di atas tanah, menuntutku untuk segera melangkah. Aku menoleh padamu
sekali lagi, berharap kau mengobati hatimu dan ikut denganku. Tapi kau masih
bertahan di tengah November, mengubur diri
dalam rasa kehilangan.
Apakah kau memilih tinggal di sana selamanya? Kutahan tanya itu
ditenggorokan. Karena meski kusuarakan, tak akan ada jawab yang kuterima. Kau bisu. Semenjak suatu hari di November
itu.
“Mari pulang.” Dua kata itu yang
selalu kuucap seraya menarik lenganmu, membawamu pulang dengan paksa.
Tak sadarkah kau bahwa kesedihanmu
menjadi penderitaan bagiku? Mengawasimu menangisi kepergiannya setiap hari,
menemani di sebelahmu tapi bahkan kau lupa pada keberadaanku. Sementara kau
berjalan terseok-seok mendahuluiku, kuamati figurmu dan membandingkannya dengan
sosok yang terekam dalam ingatanku sebulan lalu. Aku merapatkan tanganku di
atas dada, jaket yang kupakai tak begitu berhasil menghalang dingin dan
mencipta sesak di paru-paru. Kutatap sosok tegapmu, tapi bahkan tubuh kekar itu
tak sangat hebat untuk melawan badai perasaan yang menimpamu.
“Dedaunan menguning dan cuaca
menjadi dingin. Meski saat itu adalah musim gugur, senyummu selalu merekah kala
November.”
Kalimat itu lagi. Sepertinya itulah
satu-satunya bahasa yang masih tertinggal di dalam memorimu.
Kutelan perasaanku mentah-mentah.
Aku tidak mungkin menangis di hadapanmu. Bahkan meski kau tak lagi mengenaliku.
Aku tidak ingin lemah sepertimu. Tidak akan!
Aku terus berjalan menyusuri
Desember, dan merangkulmu di sisiku. Meski begitu, aku tahu kau tak nyata dalam
sentuhanku. Kau masih di sana, terjebak dalam jerat November.
Kamar Sunyi, 10
Desember 2013.
0 Comments